Setiap
hari manusia dihadapkan oleh kebutuhan namun pada sisi lain itu hanyalah bentuk
keinginan semata didorong kuat orang nafsu dan ambisi. Pada dasarnya
manusia sangat membutuhkan segala bentuk kebutuhan, seiring dengan perubahan
waktu akan semakin banyak pula kebutuhan yang manusia butuhkan.
Berdasarnya intensitas kebutuhan manusia umumnya terbagi atas 3 (tiga) yakni:
primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan yang manusia perlukan dahulu
berubah secara drastis di masa depan, penulis contohkan yakni seperti ini: Bila
di masa kakek atau tetua kita dulu, kebutuhan pengadaan listrik dan air adalah
kebutuhan sekunder dan kendaraan adalah kebutuhan tersier.
Kini semua kebutuhan di atas malah sudah menjadi kebutuhan primer. Malah
sekarang kebutuhan sekunder yakni punya mobil, ada koneksi wi-fi di rumah dan
kebutuhan tersier yakni punya Pesawat Ulang Alik NASA.
Apakah
kebutuhan dan keinginan sama, mana yang lebih didahulukan?
Kebutuhan
lahir saat manusia sangat butuh untuk kelangsungan hidupnya sedangkan keinginan
adalah hasrat yang lain saat kebutuhan telah terpenuhi tapi ingin sesuatu yang
lebih.
Pengen punya MacBook Pro Retina Display 15’ yang harga puluhan juta tapi
penggunaan semata untuk buat buat tugas di Microsoft Office serta main game
Zuma dan Soliter. Kebutuhan seperti itu, laptop dengan harga 3 Juta-an saja
sudah lebih dari cukup. Duh... keinginan sudah menggerogoti pikiran kita.
Sering banget orang zaman tempo dulu
membandingkan apa yang lakukan dulu dengan hal sekarang, misalnya:
Dulu
nenek pergi ke sekolah jalan kaki berpuluh kilometer untuk ke pasar, namun kini
kalian ke simpang beli kemiri aja ngeluh.
Memang sih, semakin zaman berganti
rasa gengsi dan pamer buat segala keinginan menjadi kebutuhan
Manusia
modern kini penuh keglamoran yang setiap saat ditayangkan oleh media visual
hingga mempengaruhi trend yang berkembang pada masyarakat. Banyak manusia yang
butuh pengakuan bahwa dirinya terlihat hebat, kaya, dan masyhur sehingga
mengorbankan kebutuhan untuk secercah keinginan.
Mendahulukan kebutuhan lebih utama
dan apabila segala kebutuhan telah terwujud ada kalanya keinginan baru
dipertimbangkan sebagai kebutuhan
Dengan
banyaknya sosial media membuat perang pamer dimulai, dari tempat yang eksotik,
tempat mewah, gadget mewah dan benda lainnya. Semua perlu modal yang ngga
sedikit, pergi ke tempat makan mewah yang biaya makannya buat kantong jebol, ah
ngga apa-apa, biar dibilang teman-teman tajir, dan hasrat pamer terpenuhi. Beli
gadget mewah dan mahal, cuma sosial media doang atau notifikasi dari operator.
Sungguh hmm banget dah!!!
Bila
penemu teknologi tempo dulu hidup kembali, pasti mereka kecewa berat telah
menciptakan teknologi terkemuka. Mereka mengira teknologi yang diciptakan bisa
memudahkan manusia di masa depan, akan tetapi manusia dari masa depan malah
menganggap teknologi terbaru yang mereka miliki sebagai bahan pamer dengan
manusia lain yang ngga mampu beli.
Hidup
mementingkan keinginan membuat pikiran kita jadi beban dengan keinginan yang
lain yang belum terpenuh, sebagai contoh. Banyak orang yang rela memenuhi
keinginan beli barang-barang mahal dan mengorbankan kebutuhan wajib.
Misalnya begini: beli sepatu, baju mahal padahal stok di lemari masih banyak hingga
mengorbankan gizi buat makan-makanan sehat. Akibatnya uang saku atau gaji
menipis membuat sisa bulan hanya bertahan hidup bermodalkan dengan makan
Internet (Indomie Telor Kornet).
Keinginan itu sebenarnya baik tapi
bila tidak mendahului kebutuhan sudah termasuk kebiasaan yang menjerumus ke
arah sifat pamer
Dalam merajut cinta pun banyak
manusia yang gamang karena kriteria yang dia buat untuk pujaan hatinya. Kadang
dia sadar saat pilihan yang terbaik selalu saja terjadi pemberontakan besar
dalam jiwa dan memilih mementingkan keinginan. Ingin menyari yang
cantik/tampan, kaya, baik, pintar dan tinggi.
Kriteria itu sudah termasuk pada keinginan dan melupakan bahwa kebutuhan yang
manusia butuhkan adalah pasangan yang mau dengan kamu dan bila ada seperti
kriteria di atas, itu bonus yang wajib kamu syukuri. Menyesal di ujung karena
kriteria berdasarkan keinginan ngga menjamin tetapi kriteria berdasarkan
kebutuhan adalah jaminan. So... pilih yang mana?
Apa
sajakah yang buat kita harus mendahulukan kebutuhan di atas keinginan yakni:
1. Sadar Diri dan Kondisi
Hidup akan aman-aman saja bila besar tiang dari pasak bila
besar pasak dari tiang, siap-siap sajalah ngutang sana-sini. Bila ngga sanggup
bayar, siap-siap dikejar-kejar rentenir yang minta bayaran dengan bunga
se-gunung. Keuangan sehat lebih keren daripada terlihat punya segalanya tapi
itu semua berlandaskan dari hasil hutang atau minjam punya orang lain untuk
memenuhi hasrat pamer.
Keinginan yang sangat besar membuat banyak manusia yang ngga
sadar diri bahwa dia ngga mampu dan mengaburkan segala kebutuhan
Kondisi mau punya mobil tapi sadari diri ternyata harus
nyicil sangat lama dan lebih parahnya lagi tempat tinggal kamu sulit buat masuk
mobil karena tinggal di gang atau beli mobil tapi parkirnya malah di
jalan.
Kondisi yang membuat tetangga kamu iri, ada baiknya sadar diri, toh
dibandingkan memenuhi keinginan ada baiknya kelebihan rezeki yang kamu miliki
bisa menolong tetangga yang kesusahan. Pahala dapat dan hati jadi tenteram
karena saling membantu sesama.
2. Banyak Bersyukur
Para koruptor dan pencuri yang berhasil diciduk atau
ditangkap petugas selalu modusnya berbeda tapi alasannya sama yakni kekurangan
finansial. Niat mereka melakukan tindakan karena didasarkan kurangnya rasa
syukur ada yang sudah dimiliki. Sebagai merasa tak pernah cukup segala rezeki
yang telah diberikan, banyak orang yang rela mencomot hak dan rezeki dengan
cara-cara ngga halal.
Penyebab pertama orang rela melakukan korupsi karena
tuntutan hidup yang begitu tinggi, tekanan dari diri sendiri, keluarga, merasa
telah ada di puncak dan rasa ngga pernah puas (read: ngga bersyukur).
Rezeki manusia itu ibarat sebuah pohon besar yang daun dan
buahnya bisa diraih atau berjatuhan di tanah. Dan semua yang berbuah bisa saja
kita petik dengan mudah karena rezeki itu ngga bakalan ketukar ibarat judul
film yang kejar rating.
Bila ingin rezeki bertambah ada cara yang benar misalnya dengan sekolah lagi,
naik pangkat, dipercaya atasan hingga karier gemilang. Ibaratnya kita perlu
punya tangga atau memanjat agar rezeki yang agak tinggi dengan usaha yang benar
pula. Atau bisa dibilang ada rezeki yang cuma menunggu bola dan ada pula yang
harus turun menjemput bola.
Bila manusia mau bersyukur atas yang telah didapatkan
malahan Allah menambah segala kekurangan dari jalan-jalan yang manusia ngga
bisa perkirakan. Misalnya punya usaha, usahanya berjalan sukses atau kariernya
lancar tanpa hambatan.
Bila semua orang punya cita-cita dan harapan tapi saat semua
jadi ambisi itu adalah pertautan buruk yang menghalalkan segala cara
Apakah cita-cita, harapan dan ambisi
itu sama?
Dalam paradoks hidup, cita-cita itu adalah rasa keinginan
yang bersungguh-sungguh pada yang kamu cita-cita, misalnya dulu pengen bange
jadi pilot. Takdir berkata lain hingga kamu hanya jadi Cleaning Service
di bandara. Walaupun tidak sampai ke tingkat jadi pilot, namun kamu setiap hari
bisa melihat pesawat Take Off dan Landing. Bila ada orang yang
bertanya kamu kerja di mana? dengan sedikit bangga: saya bekerja di bagian
penerbangan. *Alasan yang bagus*
Harapan hampir sama dengan cita-cita, cuma harapan terjadi karena keinginan
yang sudah maksimal kamu lakukan dan memohon supaya yang ia inginkan bisa
terkabul. Misalnya begini, seorang sales harus bisa menjual produk yang
perusahaan tawarkan dengan jumlah tertentu, tapi setelah usaha begitu maksimal
hasilnya masih di bawah ekspektasi. Resiko si sales ngga dapat bonus dan
bisa-bisa kehilangan pekerjaan.
Ambisi adalah keinginan besar yang dilakukan agar tujuannya
tercapai dengan cara apapun, ini sifatnya baik buat melakukan hal yang
bermanfaat untuk masyarakat.
Misalnya mega bintang sepak bola sebuah klub ingin mencetak 50 gol dalam
semusim, sisi positifnya pemain lain termotivasi meraih kemenangan dan mencetak
gol tapi sisi negatifnya buat si mega bintang jadi sangat egois saat
memanfaatkan segala peluang dan mementingkan golnya pribadi bukan gelar untuk
tim.
Pada sisi tertentu ambisi itu perlu tapi di sisi lain ambisi
dianggap terlalu berhasrat dengan tujuanmu hingga melupakan yang bukan tujuanmu
Jadi ada baiknya syukur diberdayakan, toh banyak orang lain
yang ingin menjadi seperti diri kita namun kita malah ingin jadi orang lain.
Makanya dengan bersyukur kita sadar yang kita punya jadi acuan yang sekarang
dimiliki itu cukup. Well... materi itu tanpa batas tapi syukur membatasi bahwa
ukuran materi bukan patokan.
3. Jangan Memaksakan Diri
Sebenarnya semua kita berkecukupan tapi karena ngga
bersyukur dan mau lebih sehingga segala pencapaian yang didapatkan selama ini
terlihat kurang. Saat itulah dalam benak hati muncul sifat ambisi yang
menggebu-gebu. Akhir-akhir ini kita sering banget melihat berita di
televisi para buruh melakukan aksi dan demo lebih sering disertai Long March
yang bikin macet panjang di Bundaran HI.
Tujuannya tahu untuk apa? Yakni meminta tuntutan kenaikan gaji yang mereka rasa
ngga cukup hingga buat pengusaha yang mempekerjakan mereka pusing. Sudah kerja
ngga masuk hingga produksi terganggu dan melakukan unjuk rasa yang merugikan
banyak pihak.
Banyak pada saat itu orang yang punya pekerjaan tetap tapi
kemampuan mereka pas-pasan, sedangkan banyak pengangguran bertitel sarjana dan
punya kemampuan mumpuni malah nganggur atau yang sudah bekerja digaji di bawah
UMR, namun mereka bersyukur apa adanya.
Keinginan muncul dari hasrat dan rasa ingin dipuji
serta bisa terlihat keren. Apapun dilakukan agar keinginan tercapai walaupun
setelah keinginan didapatkan malah kecewa atau susah sendiri misalnya beli
mobil mahal-mahal tapi bisa buat ngisi bensin dan saat bayar pajak langsung
kelabakan.
Banyak orang yang secara material kurang tapi kenapa mereka hidup mereka sangat
bahagia, dan saat penulis tanyakan jawaban sederhana mereka yakni tidak memaksa
kehendak, hidup sederhana serta perbanyak syukur.
Bila melihat orang lain bahagia kamu malah ikutan bahagia bukan sebaliknya.
Esensi kebutuhan semua kembali pada rasa nyaman, bukan merasa pura-pura nyaman
di atas keinginan.